-->
24 C
en

KETUA RT BISA DI PIDANAKAN,, JIKA MELAKUKAN DISKRIMINASI TERHADAP WARGANYA..

Oleh : AM.A.Arieful Zaenal Abidin.SIP.SE

Pada dasarnya, sebagai contoh yang tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 Tahun 2016 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga dijelaskan bahwa Pengurus Rukun Tetangga (RT) dalam hal ini adalah Ketua RT, memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan kemasyarakatan kepada penduduk tanpa diskriminasi.

Diskriminasi (melakukan pembedaan/menunjukkan kebencian berdasarkan ras dan etnis). Jika ketua RT melakukan diskriminasi berdasarkan ras dan etnis, maka ia dapat diancam pidana dengan Pasal 15 atau Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, hukuman pidananya tergantung jenis perbuatan diskriminasi seperti apa yang dilakukannya. namun disarankan agar warga memprioritaskan upaya damai di antara warga dengan Ketua RT. 

Dan apabila segala upaya damai telah ditempuh namun tidak berhasil, warga dapat melaporkan tindakan Ketua RT tersebut kepada ketua Rukun Warga (RW) sebagai penyelenggara pemerintahan di atas RT sebelum membawanya ke ranah pidana. Jika segala upaya kekeluargaan tidak berhasil, masyarakat dapat melaporkan ketua RT tersebut pada Kepolisian sesuai dengan wilayah adminstrasi Kepolisian. Bagaimana cara melaporkannya?.

Rukun Tetangga (RT) Sebagai Lembaga Kemasyarakanat Desa. Sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu mengenai Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) yang berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa (“Permendagri 18/2018”) didefinisikan sebagai berikut:
 
Lembaga Kemasyarakatan Desa yang selanjutnya disingkat LKD adalah wadah partisipasi masyarakat, sebagai mitra Pemerintah Desa, ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.
 
Dalam Pasal 150 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“PP 43/2014”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“PP 47/2015”), dan Pasal 3 ayat (1) Permendagri 18/2018, disebutkan bahwa LKD dibentuk atas prakarsa Pemerintah Desa dan masyarakat.
 
Jenis LKD paling sedikit meliputi: Rukun Tetangga (“RT”), Rukun Warga (“RW”), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga, Karang Taruna, Pos Pelayanan Terpadu, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat.
 
RT dan RW bertugas, membantu Kepala Desa dalam bidang pelayanan pemerintahan, membantu Kepala Desa dalam menyediakan data kependudukan dan perizinan, dan melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Desa.
 
Pengurus LKD terdiri atas: Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Bidang sesuai kebutuhan.

Pengurus LKD memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan. Pengurus LKD dapat menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Pengurus LKD dilarang merangkap jabatan pada LKD lainnya dan dilarang menjadi anggota salah satu partai politik.

Sebagai contoh di DKI Jakarta, pengaturan mengenai RT dapat dilihat dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 171 Tahun 2016 tentang Pedoman Rukun Tetangga dan Rukun Warga (“Pergub DKI Jakarta 171/2016”).
 
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Pergub DKI Jakarta 171/2016, RT didefinisikan sebagai berikut:
 
RT adalah lembaga kemasyarakatan yang dibentuk melalui Musyawarah RT setempat dalam rangka pelaksanaan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Lurah.
 
RT/RW di DKI Jakarta, dalam melaksanakan tugas, mempunyai fungsi. Sebagi pendataan kependudukan dan pelayanan administrasi pemerintahan lainnya, pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan hidup antar warga, pembuatan gagasan dalam pelaksanaan pembangunan dengan mengembangkan aspirasi dan swadaya murni masyarakat, dan
penggerak swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di wilayahnya.
 
Selain tugas tersebut, RT/RW di DKI Jakarta mempunyai kewajiban, memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, menjalin hubungan kemitraan dengan berbagai pihak yang terkait, mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan, menjaga etika dan norma dalam kehidupan bermasyarakat, dan melaporkan perkembangan kejadian dan permasalahan di wilayah melalui program aplikasi yang terdapat dalam Jakarta Smart City.
 
Ketua RT atau Ketua RW mempunyai tugas, memimpin dan mengendalikan pelaksanaan tugas serta fungsi yang menjadi tanggung jawab dan wewenang RT dan/atau RW, mengendalikan pengelolaan keuangan dan kekayaan RT atau RW;
mewakili lembaga dalam melaksanakan hubungan kerja ke luar lembaga, menandatangani surat-surat yang menjadi kewenangannya, membantu dan memperlancar Lurah dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan dan kemasyarakatan, membina dan mengawasi kegiatan-kegiatan warga atau anggota dalam RT
 
Pengurus RT dan/atau Pengurus RW mempunyai kewajiban, melaksanakan tugas sesuai kedudukannya dalam kepengurusan, memberikan pelayanan pemerintahan kepada penduduk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan memberikan pelayanan kemasyarakatan kepada penduduk tanpa diskriminasi.

Dalam tindakan Diskriminasi oleh Ketua RT Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
 
Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
 
Diskriminasi dengan melakukan pembedaan/menunjukkan kebencian berdasarkan ras dan etnis.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (“UU 40/2008”), mendefinisikan diskriminasi ras dan etnis sebagai segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
 
Pada dasarnya, setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis.
 
Selain itu, setiap warga negara wajib, membantu mencegah terjadinya diskriminasi ras dan etnis; dan memberikan informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada pihak yang berwenang jika mengetahui terjadinya diskriminasi ras dan etnis.
 
Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa: 
memperlakukan pembedaan, pengecualian, 
pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan, pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, atau menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain, berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain, mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain, atau melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.
 
Lalu apakah ada pidana bagi orang yang melakukan tindakan diskriminasi etis dan ras? Pasal 15 dan 16 UU 40/2008 mengatur ancaman pidana bagi orang yang melakukan diskriminasi ras dan etnis, yang berbunyi sebagai berikut:
 
Pasal 15 UU 40/2008. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf (a) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 16 UU 40/2008. Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
 
Jadi, jika ketua RT melakukan diskriminasi berdasarkan ras dan etnis dapat dipidana dengan Pasal-Pasal yang telah di jelaskan di atas, pidananya tergantung jenis/bentuk perbuatan diskriminasi seperti apa yang dilakukannya.
 
Selain itu, setiap orang yang mendapatkan tindak diskriminasi ras dan etnis sehingga merugikan dirinya, berhak mengajukan gugatan ganti kerugian pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi.
 
Lalu, jika ketua RT tersebut dapat dipidana berdasarkan UU 40/2008 karena melakukan tindakan diskriminasi ras dan etnis, bagaimana cara masyarakat melaporkan perbuatan tersebut pada pihak yang berwajib yaitu kepolisian?
 
Cara Melaporkan Tindak Pidana Pada Kepolisian
Jika Anda ingin melaporkan suatu tindak pidana atau kejahatan, Anda dapat langsung datang ke kantor kepolisian yang terdekat pada lokasi peristiwa pidana tersebut terjadi. 

Adapun daerah hukum kepolisian meliputi daerah hukum kepolisian Markas Besar (MABES) POLRI untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah hukum kepolisian Daerah (POLDA) untuk wilayah Provinsi.

Daerah hukum kepolisian Resort (POLRES) untuk wilayah Kabupaten/kota. Daerah hukum kepolisian Sektor (POLSEK) untuk wilayah kecamatan.
 
Untuk wilayah administrasi kepolisian, daerah hukumnya dibagi berdasarkan pemerintahan daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu.

Sebagai contoh jika Anda melihat ada tindak pidana di suatu kecamatan, maka Anda dapat melaporkan hal tersebut ke Kepolisian tingkat Sektor (POLSEK) di mana tindak pidana itu terjadi. Akan tetapi, Anda juga dibenarkan/dibolehkan untuk melaporkan hal tersebut ke wilayah administrasi yang berada di atasnya misal melapor ke POLRES, POLDA atau MABES POLRI.
 
Pada saat Anda berada di Kantor Polisi, silakan langsung menuju ke bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (“SPKT”) yang merupakan unsur pelaksana tugas pokok di bidang pelayanan kepolisian. SPKT memiliki tugas memberikan pelayanan terhadap laporan/pengaduan masyarakat. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 106 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor (“Perkapolri 23/2010”), yang berbunyi:
 
SPKT bertugas memberikan pelayanan kepolisian secara terpadu terhadap laporan/pengaduan masyarakat, memberikan bantuan dan pertolongan, serta memberikan pelayanan informasi.
 
Laporan oleh pelapor dilakukan secara lisan maupun tertulis, setelah itu berhak mendapatkan surat tanda penerimaan laporan dari penyelidik atau penyidik.
 
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 108 ayat (1) dan ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
 
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan; Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
 

Oleh : AM.A.Arieful Zaenal Abidin.SIP.SE
Older Posts
Newer Posts
Admin Kabarrilis.com
Admin Kabarrilis.com Update berita aktual seputar ekonomi, sosial budaya, kriminal dan hukum, olahraga, pendidikan, pemerintah, peristiwa, politik, religi, wisata dan hiburan

Post a Comment